Kamis, 19 Mei 2016

Ketika Sampah Menjadi Berkah bagi Manusia sebagai Sumber Energi Alternatif (Penerapan Sistem Pengelolaan Sampah Negara Swedia di DIY)



Ketika Sampah Menjadi Berkah bagi Manusia sebagai Sumber Energi Alternatif
(Penerapan Sistem Pengelolaan Sampah Negara Swedia di DIY)

Oleh : Monasari, S.Pd
Program Studi S2 Fisika UGM Konsentrasi Fisika Material

Swedia merupakan salah satu negara maju yang termasuk dalam kawasan Eropa Utara dan memiliki beberapa keistimewaan. Meski terkenal sebagai negara perompak sesuai dengan makna dari bangsa Viking yang merupakan bangsa asli Swedia yang  berarti bangsa yang terkenal sebagai perompak dan meski tidak memiliki cukup sumber daya alam, Swedia merupakan salah satu negara maju di Eropa yang merupakan negara berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi serta mendorong ekspor manufaktur. Selain pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat, Swedia juga sangat baik dalam pembangunan kota. Hal ini disebabkan Swedia memiliki konsep pembangunan kota yang berbeda sehingga ia selalu terlihat bersih, asri, dan nyaman. Swedia memang memiliki konsep pembangunan yang sedikit berbeda dibanding negara-negara Eropa lainnya. Swedia sangat mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kelestarian alam. Di kota seperti Gothenburg, kita bisa menjumpai banyak perumahan yang memiliki halaman belakang hutan pinus asli dan memiliki perusahaan pengelolaan sampah yang bernama Renova Sävenäs.
Swedia juga tercatat sebagai negara pengelola sampah terbaik dimana sampah-sampah diolah menjadi sumber energi. Dalam data statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil menekan angka itu menjadi hanya satu persen. Mayoritas sampah rumah tangga di negara Skandinavia itu bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Satu-satunya dampak negatif dari kebijakan ini adalah Swedia kini kekurangan sampah untuk dijadikan bahan bakar pembangkit energinya sehingga  Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun dari negara-negara tetangganya di Eropa seperti Norwegia, Rumania, Bulgaria dan Italia. Mayoritas sampah ini berasal dari Norwegia. Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program Sampah Menjadi Energi (Waste-to-Energy) di Swedia. Dengan tujuan utama mengubah sampah menjadi energi panas dan listrik. Bagi Swedia, mengimpor sampah adalah pemikiran maju dalam hal efisiensi dan suplai energi bagi kebutuhan manusia. Membakar sampah dalam insinerator mampu menghasilkan panas dimana energi panas ini kemudian didistribusikan melalui pipa ke wilayah perumahan dan gedung komersial. Energi ini juga mampu menghasilkan listrik bagi rumah rakyatnya. Dengan insinerator, sampah dapat diubah menjadi abu. Namun, sebelum sampai tahap insinerator sampah yang dapat didaur ulang menjadi prodak baru atau kompos dipisahkan dulu. Berdasarkan penjelasan Anto, salah satu peneliti LIPI menyebutkan bahwa Selain Swedia, negara Jepang, Korea Selatan dan Singapura telah memakai insinerator sebagai teknologi untuk pengelolaan sampah. Berbeda dengan Indonesia yang masih enggan menerapkan insinerator karena khawatir gas buang yang beracun padahal sudah banyak dikembangkan insinerator plasma untuk menetralkan asap racun, sebagai contoh di Jepang sudah dimulai tahun 1990-an muncul insinerator plasma tersebut.
Beberapa fakta mengenai sampah di Swedia yakni : Pada tahun 2012, 2.270.000 ton limbah rumah tangga dibakar, dan diubah menjadi energi, pabrik pembakaran pertama didirikan di Stockholm pada tahun 1904, 32 tanaman di Swedia hari ini menghasilkan panas untuk 810.000 rumah tangga dan listrik untuk 250.000 rumah-rumah pribadi dan emisi logam berat telah berkurang 99 persen sejak tahun 1985, meskipun Swedia memancarkan tiga kali lebih banyak limbah saat ini (https://sweden.se/nature/the-swedish-recycling-revolution/).
Lebih dari 99 persen dari semua limbah rumah tangga didaur ulang dalam ini berarti bahwa negara itu telah melalui revolusi daur ulang dalam dekade terakhir, mengingat hanya 38 persen dari limbah rumah tangga didaur ulang pada tahun 1975. Saat ini, proses daur ulang adalah sebagai aturan yang harus ada tidak lebih dari 300 meter dari area perumahan. Kebanyakan masyarakat swedia memisahkan semua limbah daur ulang di rumah mereka dan menyimpannya dalam wadah khusus di di rumah atau digunakan untuk proses daur ulang.
Beberapa kebijakan Swedia untuk mengelola sampah terdiri dari : (https://sweden.se/nature/the-swedish-recycling-revolution/)
1.      Meningkatkan Daur Ulang
Weine Wiqvist, CEO Asosiasi Manajemen dan Daur Ulang Limbah Swedia (Avfall Sverige), masih berpikir Swedia bisa melakukan lebih, mengingat bahwa sekitar setengah dari semua limbah rumah tangga dibakar, yaitu, berubah menjadi energi. Dia menjelaskan bahwa penggunaan bahan kembali atau produk berarti menggunakan lebih sedikit energi untuk menciptakan sebuah produk.
Sementara itu, masyarakat Swedia tetap memisahkan sampah koran, plastik, logam, kaca, peralatan listrik, bola lampu dan baterai. Banyak kota juga mendorong konsumen untuk memisahkan sampah makanan. Semua ini digunakan kembali, untuk daur ulang atau dijadikan kompos. Sebagai contoh, surat kabar berubah menjadi kertas, botol digunakan kembali atau dibuat menjadi barang-barang baru, wadah plastik menjadi bahan baku plastik,  makanan disintesis menjadi tanah atau biogas melalui proses kimia yang kompleks,  air yang terbuang dimurnikan sampai sebatas menjadi minum, truk sampah khusus berkeliling kota dan mengambil elektronik dan limbah berbahaya seperti bahan kimia. Apoteker menerima obat sisa. Swedia mengambil sampah mereka yang  lebih besar, seperti TV digunakan atau peralatan yang rusak, ke pusat daur ulang di pinggiran kota.

2.      Sampah Menjadi Energi
Mari kita lihat lebih dekat untuk 50 persen dari limbah rumah tangga yang dibakar untuk menghasilkan energi di insinerator.  Limbah adalah bahan bakar yang relatif murah dan Swedia telah mengembangkan keterampilan dan kapasitas besar dalam pengolahan limbah yang efisien dan menguntungkan. Swedia bahkan mengimpor 700.000 ton limbah dari negara lain. Abu yang tersisa merupakan 15 persen dari berat sebelum terbakar. Dari abu, logam dipisahkan dan didaur ulang, dan sisanya, seperti porselen dan keramik, yang tidak membakar, yang diayak untuk mengekstrak kerikil yang digunakan dalam konstruksi jalan. Sekitar satu persen masih tetap dan disimpan di tempat pembuangan sampah. Asap dari instalasi pembakaran terdiri dari 99,9 persen karbon dioksida non-beracun dan air, namun masih disaring melalui filter kering dan air. Filter kering disimpan. Lumpur dari air filter kotor digunakan untuk mengisi ulang tambang yang ditinggalkan.
3.      Penetapan Kebijakan Pemerintah yang Mendorong  Produsen Membuat Produk dari Sampah
Hans Wrådhe kepala bagian untuk limbah dan bahan kimia di Badan Perlindungan Lingkungan Swedish (Naturvårdsverket) mengusulkan retribusi lebih tinggi pada pengumpulan sampah. Bersama-sama dengan instansi pemerintah dan perusahaan, Wrådhe telah mengembangkan rencana untuk pencegahan limbah, termasuk bagaimana mendorong produsen untuk membuat produk yang bertahan lebih lama. Badan ini juga mempertimbangkan mengusulkan pengurangan pajak untuk beberapa perbaikan.

4.      Dukungan Perusahaan Besar untuk Kebijakan Sampah Menjadi Sumber Energi
Beberapa perusahaan Swedia telah secara sukarela bergabung dalam usaha pengelolaan sampah misalnya H & M telah mulai menerima pakaian bekas dari pelanggan dalam pertukaran kupon dalam sebuah inisiatif yang disebut Garment Collecting. Perusahaan Optibag telah mengembangkan sebuah mesin yang dapat memisahkan limbah tas berwarna satu sama lain. Orang membuang makanan dalam kantong hijau, kertas dalam kantong merah, dan kaca atau logam lain. Setelah di pabrik daur ulang, sortir Optibag berjalan otomatis. Dengan cara ini, pemancar pemilahan sampah bisa dihilangkan. Selain itu, kota Swedia selatan Helsingborg bahkan dilengkapi tempat sampah masyarakat dengan pengeras suara  sambal bermain musik menyenangkan.
Selain beberapa kebijakan diatas, ada beberapa program lain yang diterapkan Swedia dalam pengelolaan sampah diantaranya :
5.    
  Tempat Sampah yang Unik
Kalau di Indonesia sampah dibagi tiga kelompok saja yakni : sampah organik, sampah plastik, kertas, kaca, dan sampah logam. Lebih menyedihkan lagi, pemisahan sampah itu hampir tidak berfungsi sama sekali. Tempat sampah dengan tiga macam warna seperti ini ada di beberapa tempat. Namun di Swedia, pemerintah mendorong, menyediakan fasilitas, dan memberikan insentif untuk memilah-milah sampah sesuai jenisnya. Tempat sampah ada banyak jenisnya dan mulai dari yang kecil. Misalnya tempat sampah di ruangan kampus terdiri dari: compostable, hard plastick, glass, metal, paper, non compostable, dll. Secara  umum tempat sampah dikelompokkan menjadi tempat  sampah organik, plastik, kertas, kaca, dan logam.

6.      Rumah Ramah Lingkungan (Miljöhus)
Setiap kompleks apartemen juga memiliki tempat pembuangan sampah yang bernama Miljöhus, kalau diterjemahkan kurang lebih artinya Rumah Ramah Lingkungan sehingga tidak disebut sebagai “ TEMPAT SAMPAH “. Di dalamnya ada banyak tempat penampungan untuk berbagai macam jenis sampah. Misalnya: tempat untuk sampah organik/compostable, sampah kertas koran dan majalah, sampah kemasan box kertas, sampah hard plastik, sampah kaleng, sampah botol bening, sampah botol bewarna, sampah elektronik, sampah kain dan baju, sampah kaca lampu neon atau bohlam. Ada juga tempat sampah untuk sampah yang campur-campur dan tidak sempat disortasi. Biasanya ada juga sampah untuk barang-barang yang masih bisa dipakai lagi, seperti tempat tidur, soffa, kursi, meja, lampu duduk, karpet,  pakaian dan lain-lain. Di beberapa apartemen biasanya ada tempat khusus atau lubang khusus untuk membuang sampah organik dimana kantong sampahnya dari kertas yang disediakan gratis. Di lubang sampah ini hanya bahan organik yang boleh dimasukkan.
7.      Program Pemberian Insentif bagi yang Membuang Sampah pada Tempatnya
Salah satu insentif yang diberikan adalah menghargai sampah. Beberapa sampah memiliki harga yang cukup besar. Sampah ini umumnya adalah sampah botol plastik, dan kaleng. Untuk sampah-sampah semacam ini tertulis harganya di kemasannya. Kaleng minuman beralkohol juga memiliki nilai yang besar. Ada tempat sampah khusus untuk membuang sampah-sampah ini biasanya ada di dekat supermarket, seperti yang ada di Henköp, Netto, Lidl, dan Willis. Ada tempat memasukkan sampah/botol. Kita masukkan botolnya satu persatu kemudian mesin secara otomatis akan menghitung jumlah uangnya. Jika selesai kita akan mendapatkan truk. Struk ini bisa ditukar dengan uang di loket kasir. Jumlah uang pengantian yang cukup besar membuat sampah ini sering dicari orang. Ada beberapa orang yang mencari dan menggumpulkan sampah ini untuk mendapatkan sedikit uang tambahan. Biasanya hari sabtu dan minggu banyak botol dan kaleng  di tempat sampah.
8.      Edukasi untuk Membuang Sampah Pada Tempatnya Sejak Dini
Sistem memilah sampah seperti ini bisa berjalan karena kesadaran masyarakat Swedia akan sampah dan kelestarian lingkungan sudah sangat tinggi. Mereka mengajarkan sejak masih kecil untuk membuang sampah pada tempatnya.
Orang-orang tua memberi contoh bagaimana membuang sampah. Mereka tidak hanya menyuruh saja dan  menyontohkan bagaimana membuang sampah yang benar.

Penerapan Sistem Pengelolaan Sampah Negara Swedia di Provinsi DIY
Beberapa program dari Swedia telah dilakukan Indonesia sejak lama misalkan penyediaan tempat sampah yang berbeda walau hanya masih beberapa jenis dan hanya pada tempat-tempat khusus misalnya rumah sakit, hotel dan lain-lain. Selain itu, program daur ulang sampah pun sudah diterapkan bahkan banyak program-program desa binaan yang menerapkan program daur ulang sampah sebagai salah satu bentuk usaha mereka memenuhi kebutuhan. Namun, yang paling penting untuk ditingkatkan terlebih dulu adalah kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya  melalui program-program edukasi dan seminar. Hal ini dapat terwujud jika semua pihak mendukung dari individu, masyarakat, pemerintah. Selanjutnya, pemerintah juga perlu memberikan dukungan usaha-usaha dan perusahaan daur ulang dan memberikan dukungan terhadap para peneliti-peneliti yang membahas pengelolaan sampah di Indonesia karena data yang mereka peroleh sangat berharga untuk perbaikan sistem pengelolaan sampah di berbagai wilayah di Indonesia.
Sebetulnya, kebijakan yang telah dilakukan Swedia dalam mengelola sampah menjadi salah satu sumber energi dapat diterapkan di DIY karena Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta juga melakukan hal yang sama. Hal ini dapat dilihat dari langkah UGM yang bekerja sama dengan pemerintah Swedia akan membangun jaringan di berbagai provinsi di Indonesia mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sampah. Jaringan ini akan menerapkan konsep baru seperti yang diterapkan di Swedia. Sampah dinilai sebagai bahan baku potensial untuk diolah kembali sebagai produk bernilai tambah. Namun, untuk menerapkan konsep ini memang tidak mudah. Swedia sendiri memerlukan waktu 30 tahun untuk mengolah limbah menjadi energi karena yang  menjadi kendala adalah pola pikir masyarakat saat itu yang belum terbiasa memilah sampah.
 Slogan 3R (Reuse, Recycle, Reduce) melibatkan proses sortasi atau memilah-milah sampah yakni sampah mana yang bisa digunakan kembali (Reuse) dan mana yang bisa didaur ulang lagi (Recycle). Untuk daur ulang juga perlu dikelompokkan dan dipisahkan. Sampah plastik dikumpulkan dengan plastik, kaleng dengan kaleng, kaca/glass dengan gelas, dan kertas dengan kertas. Sampah-sampah organik juga dikelompokkan dengan sampah organik agar bisa diolah menjadi biogas atau kompos. Kalau semua jenis sampah tercampur aduk seperti di negara kita Indonesia maka  sortasi rasanya sulit dilakukan dan akan banyak menghabiskan biaya.
            Pengelolaan sampah perkotaan sendiri dilakukan dengan dua sistem, yaitu dengan dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi.  Pengelolaan sampah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditangani sebagian besar oleh pemerintah secara sentralisasi. Pengelolaan tersebut mulai dari penarikan retribusi, pengumpulan dari sumber, pengumpulan di TPS dan pengangkutan ke TPA.  Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul mengunakan TPA Piyungan. TPA piyungan berada di Bantul, tetapi justru Bantul memberikan kontribusi sampah paling rendah dibandingkan dengan kota Yogyakarta dan Sleman karena sebagian Bantul merupakan pedesaan dan memiliki lahan kosong yang luas. Secara garis besar, pemerintah DIY belum mengalami kendala  dalam pengelolaan sampah, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh tentang kemungkinan timbulnya permasalahan sampah dikemudian hari (Surahma, 2014 : 404).
            Selanjutnya, program-program pengelolaan sampah berbasis 3R (Reuse, Recycle, Reduce) sudah diterapkan di beberapa masyarakat Yogyakarta. Salah satunya adalah program Pengelolaan Sampah Mandiri Ala Sukunan (Sleman, Yogyakarta) dengan mitra Australian Consortium For In Country Indonesial Study (ACICIS) yang merupakan program pengelolaan sampah terpadu berupa kegiatan pemilihan, daur uoang dan composting dilaksanakan di lingkungan permukiman sejak tahun 2004. Pelaksanaan programnya mirip program di Swedia yakni pembuatan sosialisasi  program dengan masyarakat, penyediaan wadah sampah berbeda untuk setiap jenis sampah, pengumpulan sampah dan daur ulang.
Luaran dari program ini adalah pemilahan sampah ini sudah manjadi hidup masyarakat Sukunan, Yogyakarta sehingga diharapkan akan terus berlangsung sampai masa yang akan datang. Selain itu, masyarakat berhasil meningkatkan ekonomi dengan pengelolaan sampah terpadu ini melalui penjualan produk-produk daur ulang sehingga kebutuhan operasional dan pemeliharaan dapat dilakukan dari kas bersama  (Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman : 18)
Pengelolaan sampah dengan menerapkan prinsip 3R  dan bersifat masyarakat juga telah dilakukan di Dusun Danen Sinduadi Ngaglik Sleman dan Bank Sampah di Bantul.  Bank sampah merupakan model pengelolaan sampah mandiri seperti pada pengelolaan keungan di bank pada umumnya ( Cecep dalam Marwati : 4). Masyarakat dihimbau untuk menabung dalam bentuk sampah. Seperti halnya bank pada umumnya, bank sampah ini juga terdapat penanggung jawab pelaksana, ketua pelaksana, teller sampah, petugas penimbang sampah, buku tabungan, bendahara pemegang keuangan. Sistem yang dilakukan pada bank sampah ini adalah masyarakat sebagai nasabah bank memasokkan sampah yang dipilah kemudian diterima oleh petugas penimbangan dan kemudian diterima oleh teller sampah untuk dicatat di buku tabungan dimana yang tercatat dalam buku tabungan sampah adalah berat sampah yang nantinya akan dijual oleh pengelola dan masyarakat akan menerima 80% dari hasil penjualan dan 20 % untuk pengelola. Hasil penjualan sampah ini ditabung dan biasanya baru diambil pada saat lebaran tiba ( Marwati : 6). Pengelolaan sampah ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan sampah dengan melibatkan seluruh warga masyarakat.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, masyarakat Yogyakarta sudah bisa menerapkan beberapa program pengelolaan sampah layaknya Swedia misalkan pemilahan sampah, penyediaan tempat sampah berbeda, edukasi pentingnya mengelola sampah, dan mendaur ulang sampah. Namun , untuk program pengelolaan sampah menjadi energi masih menunggu pemerintah Indonesia berani untuk mulai menggunakan insinerator plasma, sebuah teknologi pengelolaan sampah menjadi energi panas dan listrik. Sebetulnya, dengan adanya insinerator plasma, Indonesia tidak perlu khawatir dengan asap beracun karena menurut Anto yang merupakan salah satu peneliti LIPI menyebutkan bahwa Insinerator plasma dari LIPI sendiri dengan kapasitas 1 ton sampah per jam sebenarnya telah beroperasi satu unit di Kepulauan Seribu, wilayah DKI Jakarta.
Dengan insinerator, sampah dapat diubah menjadi abu. Namun, sebelum sampai tahap insinerator sampah yang dapat didaur ulang menjadi prodak baru atau kompos dipisahkan dulu. Sampah yang masuk insinerator adalah yang benar-benar tidak bisa digunakan. Kemudian, melalui metode plasma, dengan proses tumbukan elektron dapat mengionisasi dan mengurai gas beracun seperti NOx, SOx, dioksin, dan furan.Dengan begitu menjadi gas aman sisa pembakaran di insinerator yang aman dilepas ke lingkungan (http://lipi.go.id/berita/single/Beda-Penanganan-Sampah-Jakarta-dengan-di-Jepang-Menurut-Peneliti-LIPI/10510).

Daftar Pustaka
Asti, Surahma Mulasari dkk.  2014. Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Sampah Domestik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 8, No 8 Mei 2014 : 404-405

Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman.  2007. Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah Indonesia.  Jakarta : 3R-PU



Marwati, Siti. 2013. Pengelolaan Sampah Mandiri Berbasis Masyarakat. staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/siti-marwati-msi/c9.pdf  : 4-5

Regismachdy (Borås). 2013.  Sampah Membawa Berkah : Sistem Pengelolaan Sampah di Swedia. http://ppiswedia.se/masakini/sampah-membawa-berkah-sistem-pengelolaan-sampah-di-swedia/. Diakses Pada Senin, 16 Mei 2016

Setiadi, Amos. 2014. Studi Pengelolaan Sampah Berbasis Komunitas Pada Kawasan Kampung Perkotaan Yogyakarta. Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional- Bandung, 16-18 Oktober 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger