Komunitas
Belajar Qaryah Thayyibah
“Sekolah
Global Berbasis Kecerdasan di Desa Kalibening “
Tulisan ini saya buat ketika kunjungan PKL Pendidikan Fisika Universitas Sriwijaya pada tanggal 23- 1 Juli 2013 . Pada Tanggal 29 Juni, kami kunjungan ke Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah di Desa Klaibening, Salatiga , Jawa Tengah...Setelah beberapa jam berada disana banyak pengalaman dan ilmu yang kami dapatkan sehingga saya bisa menuliskan tentang komunitas ini......
This is it.....
Check it out,,,,
Komunitas
belajar Qaryah thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di tanah air
yang makin bobrok dan semakin mahal. Komunitas ini berdiri pada pertengahan
tahun 2003. Komunitas ini berlokasi di Jalan Raden Mas Sa’id No. 12 Kalibening,
Salatiga, Jawa Tengah , Indonesia
Adapun latar
belakang belakang berdirinya komunitas belajar ini adalah :
Ø
Ketidakmampuan
masyarakat sekitar untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah formal yang
mahal.
Pada pertengahan tahun
2003 anak pertama Bahrudin , Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan
tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan
anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang
saat itu telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan,
belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu
rupiah.
“Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan
orang-orang lain?”
tuturnya.
tuturnya.
Bahruddin yang menjadi
ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya
menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan
mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani
memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya,
Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.
“Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak
berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting
mereka bisa bersekolah,” kata Bahruddin.
“Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak
berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting
mereka bisa bersekolah,” kata Bahruddin.
Ø
Bergesernya paradigma
pendidikan sekarang yang berorientasi pada ijazah, sertifikat dll
Ø
Realitanya,
pendidikan sekarang tidak berbasis pada kecerdasan anak .
Pendidikan sekarang tidak menjadikan anak
mandiri dan kreatif tetapi semakin konsumtif. Hal ini didasarkan pada
pengalaman si pendiri sendiri, Pak Bahrudin. Dia pernah menjuarai taekwondo
se-Jawa Tengah tetapi ia malah gagal
ketika diuji mata pelajaran Olahraga. Saat itu, ia pernah diuji mata pelajaran
olahraga namun justru nilainya terburuk karena dia tidak bisa menjawab
pertanyaan “ berapa tinggi mistar gawang sepak bola ? “ . Padahal ia adalah
salah satu atlet olahraga yang berprestasi. Jadi pendidikan sekarang tidak aka
sinergi antara kehendak institusi / Negara dengan basis kecerdasan anak. Realitanya, anak dituntut untuk mengikuti
standar institusi yang kurang sesuai dengan kemampuan anak.
Pak Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di
sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula
sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang
baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.
Selanjutnya, komunitas
belajar Qaryah Thayyibah bukan merupakan sekolah formal namun sistem pendidikannya lebih berorientasi membebaskan dan melatih
siswanya mandiri dan kreatif dalam menanggapi persoalan kehidupan nyata dan
berusaha membebaskan dari belenggu model pendidikan formal yang cenderung mahal
dan hanya mengejar target kelulusan siswanya saja. Perbedaan esensial komunitas
belajar ini dengan pendidikan formal adalah komunitas ini menggunakan indikator
produksi bukan indikator konsumsi seperti pada pendidikan formal. Definisi anak
pintar versi sekolah formal ialah anak yang sudah menyerap pengetahuan
sedemikian banyaknya lalu diuji melalui tes baik ujian blok, ujian semester,
dan UN sedangkan definisi anak pintar menurut KBQT ialah anak yang bisa mengembangkan daya
imajinasi, kreasi dan inovasi untuk menghasilkan suatu karya.
Sesuai namanya “ Qaryah Thayibah “ yang merupakan nama
serikat tani di desa Kalibening maka komunitas ini terintegrasi pada masyarakat
sekitar yang merupakan kelompok tani sehingga QT berpijak pada konteks
kehidupan lokal Posisi yang ingin ditempatkan QT dalam sistem pendiidkan
nasional adalah wirausaha karena berbicara tentang kemandirian bangsa,
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan ketika
pendidikan tidak dikembalikan pada local resource maka akan terjadi seperti
kondisi pendidikan sekarang ini sehingga kita harus belajar dan berusaha sekuat
tenaga untuk mengetahui dan memahami lingkungan lokal sehingga kita dapat
mengelola dan memproduksi sendiri berdasarkan sumber daya yang ada. Dengan
adanya komunitas belajar QT yang berpijak pada konteks kehidupan lokal maka
akan memberikan kontribusi terwujudnya masyarakat belajar ( Learning Society )
sehingga dapat menjadi masyarakat yang unggul, cerdas , berdaya dan mampu mengoptimalkan
segenap kemampuan untuk mengelola sumber daya sendiri yang akan berkontribusi
dalam penguatan bangsa itu sendiri.
Proses belajar dan mengajar ditentukan oleh kemauan anak
sendiri sehingga anak menjadi subjek pembelajaran dengan dorongan belajar dari
pendampingnya. Peran Pendamping adalah orang yang mau belajar bersama dengan
anak dan tidak dibayar. Mereka saling memotivasi dalam proses belajar dan
mengajar. Dengan demikian model pembelajaran yang diterapkan dalam komunitas
ini adalah Learning Centered. Jika di sekolah formal kita kenal yang namanya
RPP ( Rencana Proses Pembelajaran ) namun dalam komunitas ini dikenal RFP (
Rencana Fasilitasi Pembelajaran ) .
Selanjutnya, Kegiatan belajar pun ditentukan oleh siswa
sendiri dalam kegiatan upacara/ acara rapat besar sebagai agenda mingguan yang dilaksanakan
setiap hari Senin. Dalam upacara, mereka mendiskusikan berbagai macam
permasalahan dalam proses belajar dan mengajar di komunitas ini. Para siswa nya
pun dapat belajar dari internet dan siapapun.
Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet
di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin.
Sesuai hasil musyawarah, tiap Senin pagi anak-anak dan
pendamping melakukan kerja bakti. Salah satunya adalah membuat talut pematang
sawah. Mereka tidak canggung melakukan praktek pengolahan lahan di areal
persawahan milik masyarakat sekitar
Selanjutnya, Jumlah pendamping yang mengajar sembilan
orang, semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di
antaranya para aktivis petani. Pendamping pelajaran Matematikanya seorang lulusan
SMA yang kini mondok di pesantren.
Ternyata pengakuan terhadap keberadaan Komunitas Belajar Qaryah
Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid KB QT jauh lebih baik daripada nilai rata-rata
sekolah induknya,terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Sekolah
itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba
cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga.
Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi
belajar mandiri di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.
Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah juga maju dalam
berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah
mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album
Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana.
Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah
itu.
Meski tidak mengenyam sekolah formal, siswa Qaryah
Thayyibah juga mampu mendesain bangunan berikut interior layaknya arsitek
lulusan perguruan tinggi padahal mereka adalan remaja bahkan hasil desain itu
telah direalisasikan untuk sebuah bangunan lantai 4 yang sekarang digunakan
untuk tempat belajar mereka.
Sembilan tahun berdiri tercatat sudah ada 45 siswa yang
belajar dalam komunitas belajar ini dan rata-rata mereka sudah mendapat
penghargaan serta kejuaraan nasional. Bahkan pendirinya pun telah mendapat
piala satu lemari sebagai pejuang pendidikan dari berbagai kalangan.
Fina Af’idatussofa, salah satu siswa KBQT mampu meraih
penghargaan tingkat nasional sebagai penulis kreatif dari yayasan milik Kak
Seto dan beberapa tulisannya dimuat di harian kompas. Salah satu buku karangan
Fina pun sudah ada yang diterbitkan. Selain Fina, anak – anak QT yang lain juga mampu membuat klip lagu. Mereka membuat
video clip “ Pelangi Desaku “ yang merupakan lagu ciptaan mereka sendiri dengan
artis teman-teman mereka sendiri. Bahkan hasil produksinya mulai dari shooting,
editing dan pasca produksi dilakukan mereka sendiri. Salah satu dari mereka ada
yang bercita-cita sebagai sutradara film dan menjadi penyanyi yaitu Puji
Astuti. Selanjutnya, beberapa lagu ciptaan guru dan siswa Qaryah Thayyibah
mendapat pengakuan secara nasional dan dijadikan mars dan hymne dalam
pendidikan kesetaraan
Masih ada keunikan dari komunitas belajar ini .
Diantaranya, Bahrudin selaku penggagas komunitas ini tidak mewajibkan anak-anak
untuk mengikuti UN karena justru dari anak-anaknya yang tidak mau mengikuti UN.
Sebagai tugas akhir, mereka lebih memilih berkarya membuat disertasi. Namun ada
tiga anak yang masih ingin ikut UN dan ketiga anak ini dianggap sebagai
penghianat. Namun karena mereka anak-anak yang berbudaya, ketiga anak ini dan
anak-anak lain melaksanakan rapat untuk pengambilan keputusan apakah diizinkan
ketiga anak ini untuk mengikuti UN . Ternyata keputusannya ketiga anak ini
diizinkan mengikuti UN lantaran karena mereka ingin menyusun disertasi tentang
UN. Setelah UN selesai, karya anak ini pun selesai yang terwujud dalam sebuah
buku “ Lebih Asyik Tanpa UN “ yang ditulis oleh Fina dan telah diterbitkan
serta beredar di seluruh gramedia di Indonesia. Fina pun menjadi lulusan
terbaik dan berhak masuk sekolah bertaraf internasional namun dia justru
menolak karena ia tetap ingin mengabdi dalam komunitas ini dan sekarang dia dan
teman-temannya malah mendirikan komunitas belajar Qaryah Thayyibah setingkat
SMU.
Karena UN dianggap segala-galanya dan untuk mendapatkan
pengakuan di masyarakat dibutuhkan ijazah serta sebagian besar orang tua
menolak KBQT tidak mewajibkan UN maka komunitas belajar ini pun didaftarkan
pada program kesetaraan yang kita kenal dengan paket B dan Paket C. Jadi siswa
QT juga ada ijazah dan bisa melanjutkan ke pendidikan formal. Sebagai contoh
ada siswa QT yang sedang kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia dan Hukum Universitas
Indonesia.
Sudah panjang lebar saya bercerita tentang komunitas
belajar Qaryah Thayyibah, sekarang saya ingin sedikit menuliskan mimpi dan
harapan dari seorang Bahrudin untuk kita
yakni :
“ Terwujudnya Learning Society bisa dimana-mana sehingga
jika ada pertanyaan berapa ??? ada sedikit. Dan jika ada orang diluar desa yang
belajar di Qaryah Thayyibah sangat kami sarankan untuk tidak belajar terlalu
lama ditempat kami namun selenggarakanlah pendidikan sendiri ditempat lain.
Sebagai contoh, Kelompok Cendekia Mandiri dulu belajar di QT sekarang berhasil
mendirikan komunitas belajar. Sekarang sudah berkembang menjadi 20 komunitas
belajar di desa-desa. Dengan demikian , komunitas belajar non formal bisa
diaplikasikan dimana-mana “
So…………
Mari kita mulai !!
Created by Monasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar